Kelapa, pohon kehidupan. Seluruh bagian tanaman yang bernama latin Cocos Nucifera bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Taklah mengherankan, jika mayoritas masyarakat di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) Bumi Sri Gemilang menggantungkan hidupnya turun-temurun dari tanaman ini. Kelapa laksanakan mestika, batu permata yang berharga.
Laporan: DESRIANDI CANDRA, Tembilahan, Indragiri Hilir
KASIRAN (63) termenung. Raut wajahnya terlihat tak begitu ceria. Seakan dia menyimpan pertanyaan besar yang belum terjawab. Di kedua tangannya memegang dua butir kelapa yang baru saja dikupas Idrus, tenaga pengupas kelapa yang berada tak jauh darinya.
Sambil jongkok di pinggiran jalan semenisasi di Kampung Hidayat, Desa Teluk Dalam Sapat, Kecamatan Kuala Indragiri (Kuindra), Kabupaten Indragiri Hilir, dia menoleh ketika Riaupos.co datang menghampirinya, Sabtu (18/3/2023) lalu.
Saat itu, Kasiran hanya menggunakan singlet dengan celana training dan tidak memakai topi ataupun penutup kepala. Padahal, ketika itu cuaca cukup panas, sehingga membuat sejumlah kalangan wartawan yang berkunjung dalam Studi Jurnalistik PWI Riau menyambut Hari Pers Nasional (HPN) Provinsi Riau di Kabupaten Indragiri Hilir, menyeringai kepanasan. Tapi, Kasiran tetap santai. Dia sepertinya tidak merasakan teriknya sengatan sinar Matahari ketika itu.
Kasiran, salah satu petani yang mengandalkan kehidupannya dari hasil perkebunan kelapa yang ada di Kampung Hidayat Sapat, Desa Teluk Dalam, Kecamatan Kuala Indragiri (Kuindra), Indragiri Hilir. Profesi sebagai petani kelapa sudah dilakoninya sejak lama, berpuluh tahun yang lalu. Semenjak dirinya dibawa orang tuanya ke Kampung Hidayat 40 tahun lalu.
Berbincang dengan Riaupos.co, Kasiran meluahkan keluh-kesahnya menjadi petani kelapa. Dengan menggunakan bahasa Indonesia yang masih kental dengan logat Banjar, sesekali dia terlihat menarik napas ketika bercerita soal kelapa.
“Harga kelapa sekarang sedang tidak baik, anjlok,” tutur Kasiran membuka cerita.
Sekarang, kelapa petani dibeli para tauke penampung hanya Rp1.500 per kilogramnya. Tidak pernah lagi menyentuh angka Rp2.300 per kilogram, apalagi Rp3.000 per kilogram seperti tahun 2017 lalu. Harganya tiap tahun terus anjlok. Sementara dia sebagai petani kecil tidak bisa berbuat banyak dan tidak punya pilihan selain menjual butiran-butiran kelapa hasil keringatnya kepada tauke yang datang menjemput dan membeli ke Kampung Hidayat.
Diperlukan biaya yang tidak sedikit membawa kelapa untuk dijual ke tempat lain. Misalnya, transportasi kapal pengangkut. Biaya sewa transportasi per harinya cukup besar. Sementara ia tidak memiliki kapal pengangkut sendiri, sehingga tak ada pilihan baginya selain menjual pada tauke pengepul yang menjadi langganannya.
Selain itu, faktor terlilit hutang pada tauke juga menjadi salah satu penyebabnya. Ia dan petani di Kampung Hidayat seringkali meminjam uang pada tauke yang mengambil buah kelapanya ketika ada kebutuhan yang mendesak atau uang hasil jual kelapa sudah habis.
“Jadi mana mungkin menjual ke tempat lain. Selain tidak memiliki kapal pengangkut, juga sudah terlilit utang. Yang susah kami juga nantinya,”kata Kasiran lagi.
Kebun kelapa yang dia kelola saat ini, merupakan kebun kelapa warisan orang tuanya. Itu pun tidak banyak, hanya 12 baris dengan panjang 35 batang per baris atau sekitar 3,5 hektare.
Kebun warisan ini, rata-rata ada yang berumur 40-50 tahun. Di mana sejak dikelolanya, belum pernah dilakukan peremajaan, ini dikarenakan melihat produksi pohon kelapa yang dinilainya masih cukup baik.
Disebutkannya, per tiga bulan, kebun kelapa miliknya mampu menghasilkan 3.000-3.500 butir kelapa. Kelapa-kelapa itu dikupas dan dijual pada tauke. Kasiran biasanya menggunakan satu orang tenaga pengupas untuk mengupas hasil panen kelapanya itu. Dia selalu menggunakan jasa Idrus sebagai tenaga pengupas dengan upah Rp130 per butir.
“Kalau yang dikupas Pak Idrus sekarang ini jumlahnya sedikit. Hanya 1.500 butir. Biasanya selesai dalam dua hari,” tambah Kasiran.
Meski tidak memiliki kebun kelapa yang luas dan sudah tua, Kasiran tetap merasa bersyukur. Lewat hasil kebun kelapa peninggalan orang tuanya itu, ia mampu menyekolahkan lima anaknya hingga menamatkan jenjang pendidikan SMA sederajat.
Sayang, kelima orang anaknya memilih tidak melanjutkan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi. Mereka lebih memilih tinggal di kampung halaman berkebun kelapa dan membantu orang tuanya.
Dengan harga kelapa saat ini yang anjlok, ia khawatir akan merugi. Sekarang, hasil panen kebun kelapanya hanya pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga selama tiga bulan ke depan.
Berbeda ketika tahun 2017 lalu, ketika itu harga kelapa di Inhil menyentuh Rp3.000 per kilogram, Kasiran pun merasakan dampak pada ekonomi rumah tangganya. Hasil panen per tiga bulan itu mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Sayang harganya tidak lama bertahan.
Ia berharap, harga kelapa di Inhil ke depan bisa naik. Bisa menyentuh angka Rp3.000 atau minimal Rp2.300. Karena dari butiran-butiran kelapa itu baginya adalah napas kehidupan keluarga.
Selama menjadi petani kelapa di Desa Teluk Dalam, Kasiran mengaku belum pernah mendapatkan bantuan apa pun. Baik bantuan modal usaha maupun pelatihan hilirisasi pengolahan kelapa, sehingga sampai sekarang ia hanya menjual butiran-butiran kelapa saja.
Apa yang dialami Kasiran, juga dialami Idrus (55) dan Abdul Halim (29). Sama dengan Kasiran, Idrus dan Abdul Halim juga petani kelapa yang tinggal di Desa Teluk Dalam. Selain berkebun kelapa, Idrus juga menjadi tenaga pengupas kelapa milik Kasiran.
Saat ditemui Riaupos.co, Idrus tengah asyik mengupas kelapa hasil panen kebun kelapa milik Kasiran. Meski sudah lanjut usia, tangan-tangan Idrus sangat terampil mengupas kelapa dengan tojok (alat pengupas kelapa). Padahal, risikonya cukup besar, di mana mata tojok yang tajam bisa merobek tangan Idrus setiap saat.
Dalam satu hari, Idrus mampu mengupas kelapa hingga 1.000 butir. Profesi pengupas kelapa sudah digeluti Idrus bertahun-tahun lalu. Padahal upah yang didapatnya per butir kelapa tidaklah besar, hanya Rp130. Itu dilakukannya untuk menambah penghasilan keluarga dan menyekolahkan ketujuh anaknya.
Saat ini, tujuh anaknya sudah menamatkan pendidikan SMA sederajat dan tiga orang anaknya melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren di Kalimantan.
Sambil mengupas kelapa, Idrus mengatakan, bagi orang Inhil termasuk di Kuindra, kelapa adalah kehidupan, urat nadi ekonomi. Butiran-butiran kelapa itu sudah lama menjadi penopang kehidupan di Kuindra bahkan di Inhil.
Namun sayang, harga kelapa yang tidak menentu, terkadang naik dan terkadang turun. Sementara kebun kelapa juga perlu pemeliharaan yang baik agar hasilnya baik dan tetap produktif. Selain perawatan gulma, kelapa perlu pemupukan.
“Biaya itu lumayan besar,” ungkap Idrus.
Namun mereka petani kecil tidak bisa berbuat banyak. Karena tak mampu menghasilkan produk lain selain kelapa bulatan. Untungnya, selain menjadi tenaga pengupas kelapa, Idrus memiliki kebun sendiri. Sehingga hasil itu cukup untuk kebutuhan rumah tangganya.
Kelapa yang ditanam di kebunnya, adalah jenis kelapa dalam (kelapa biasa) bukan hibrida. Di mana, kelapa dalam buah dan daging buah lebih besar dan tebal. Sedangkan kelapa hibrida, buah lebih kecil.
Idrus pun berharap pada pemerintah, suatu saat harga kelapa petani bisa lebih baik, kembali seperti tahun 2017 lalu. Pemerintah ikut memperhatikan petani, melatih industri rumah tangga turunan kelapa, sehingga, ia tidak lagi hanya mengandalkan dari hasil penjualan kelapa, minimal anak-anaknya dan pemuda desa punya keterampilan dalam mengolah turunan kelapa.
“Kondisi harga kelapa di sini turun, kami petani dibuat kesulitan. Padahal, dari kelapa itulah kami menggantungkan hidup dan impian. Impian untuk sejahtera dan hidup yang mapan,” papar Abdul Halim yang ditemui masih di Kampung Hidayat.
Untuk menambah penghasilannya, anak pertama dari empat bersaudara ini, menjalani profesi sebagai tukang ojek. Setiap hari, ia mangkal di pangkalan ojek di kampung itu. Setiap orang yang datang ke Kampung Hidayat untuk berziarah ke makam Tuan Guru Sapat, pastilah menggunakan ojek dan berhenti di pangkalan ojek tempatnya mangkal.
Abdul Halim bersama ketiga saudaranya hampir 10 tahun terakhir mengelola kebun kelapa peninggalan orang tuanya. Ada sekitar 500 batang kelapa yang ia rawat dan kelola bersama saudara-saudaranya.
Setiap tiga setengah bulan atau empat bulan sekali, mereka panen kelapa. Hasilnya mencapai 7.000-8.000 butir. Kelapa-kelapa itu ia kupas bersama tiga saudaranya. Dia tidak menggunakan tenaga pengupas untuk mengurangi biaya pengeluaran pascapanen. Hasil panen yang dijual pada tauke penampung itu, dibagi rata dengan adik-adiknya.
Untungnya, ia dan ketiga adik-adiknya belum berumah tangga, sehingga hasil kebun peninggalan orang tuanya itu, mampu memenuhi kebutuhan dan menjadi penopang ekonomi mereka.
Pohon-pohon kelapa dari kebunnya, rata-rata sudah berumur 25 tahun. Belum pernah diremajakan. Untuk menambah penghasilan, Abdul Halim berupaya menanam pinang di pinggir dan celah pohon kelapa. Tapi harga jual pinang tak jauh dengan kondisi harga kelapa yang anjlok.
Halim pun berharap, Pemkab Inhil bisa berperan membantu petani dalam stabilisasi harga kelapa, memulihkan harga kelapa dengan harga yang lebih baik serta membantu petani dengan pelatihan keterampilan pengolahan produk kelapa, sehingga mereka tidak tergantung pada satu produk dan tauke kelapa.
Kuala Indragiri, salah satu Kecamatan di Kabupaten Indragiri Hilir yang terletak di bagian selatan. Perlu waktu 1,5 jam-2 jam perjalanan dengan menggunakan speedboat. Mata pencaharian masyarakatnya mayoritas petani kelapa.
Di Kampung Hidayat Desa Teluk Dalam, Kecamatan Kuindra terdapat makam ulama besar yang bernama, Syekh Abdurahman Siddiq atau yang dikenal dengan sebutan Tuan Guru Sapat. Selain ulama besar yang gigih menyebarkan Islam, ia juga berkebun kelapa yang dirintis oleh ayahnya H Karim.
Dari penuturan keturunan Tuan Guru Sapat yang tinggal di rumah singgah Kampung Hidayat Desa Teluk Dalam, Muhammad Mukri Pahsan bin H Masri, sebelum Tuan Guru Sapat berkebun kelapa, kebun itu sudah disiapkan oleh ayahnya H Karim. Setelah H Karim wafat pada tahun 1939, kebun-kebun kelapa itu dibagi-bagikan pada anak-anaknya untuk dirawat dan dikelola, termasuk Tuan Guru Sapat.
Dia merupakan sosok perintis perkebunan kelapa di Inhil. H Karim juga menjadi tokoh pencetus pembuatan trio tata air. Agar kebun-kebun kelapa yang ada di wilayah Kuindra, khususnya Sapat tidak terendam air pasang.
Setelah H Karim wafat, pengelolaan kebun kelapa dan trio tata air terus di kembangkan Tuan Guru Sapat. Ia bersama murid-muridnya membangun tanggul, saluran untuk mengamankan kebun kelapa hingga ide trio tata air itu berkembang ke daerah-daerah penghasil kelapa di Inhil sampai sekarang. Makam Tuan Guru Sapat sampai sekarang ramai dikunjungi masyarakat dan tokoh-tokoh Inhil maupun di luar Inhil untuk berziarah.
Hilirisasi Kelapa Mulai Dirasakan
Pemkab Inhil melalui Dinas Perkebunan (Disbun), telah berupaya dan tidak tinggal diam dengan kondisi yang dialami para petani kelapa. Sejak dulu sampai sekarang, Inhil dipimpin Bupati HM Wardan, sudah berupaya agar kesejahteraan petani kelapa di daerah itu terjamin dan meningkat.
Pemkab melalui Disbun terus mendorong para petani kelapa agar membentuk kelompok tani. Langkah itu sebagai upaya untuk mendapatkan berbagai pelatihan dalam pengolahan hilirisasi turunan kelapa. Di mana nantinya akan mendorong para petani kelapa, menghasilkan produk-produk turunan kelapa yang bermutu dan memberikan nilai tambah bagi mereka. Tidak tergantung dari hasil penjualan produk kelapa bulatan saja.
Dampak itu, dirasakan Kelompok Tani Nyiur Terpadu yang berada di Jalan Pendidikan, RT 09 RW 03, Kelurahan Sapat Kecamatan Kuala Indragiri (Kuindra) Indragiri Hilir (Inhil). 24 orang anggotanya, bisa mendapatkan selisih harga jual kelapa yang lebih tinggi dari pasaran yang dibeli para tauke ke petani.
Berjalan empat tahun berdiri, Kelompok Tani Nyiur Terpadu yang diketuai, Juari ini, mampu menghasilkan berbagai produk turunan kelapa. Seperti santan kelapa, minyak kelapa dan Virgin Coconut Oil (VCO) yang menjadi produk unggulan dari kelompok tani ini. Bahkan sekarang, mereka sudah mengantongi omzet Rp30 juta per tahunnya.
Juari kepada Riaupos.co mengungkapkan, kelompok tani ini berdiri tahun 2019 lalu. Di tengah wabah Covid-19. Tidak mudah bagi mereka untuk berada dalam posisi sekarang. Dengan kerja keras “melawan badai”, hasil home industri yang dilakukan kelompok tani mereka, mulai dikenal masyarakat. Tidak saja di Kecamatan Kuindra, tetapi juga sampai ke Tembilahan, bahkan beberapa kota di luar Tembilahan dan luar negeri.
Awal 2019, ia bersama beberapa petani kelapa di Inhil mengikuti pelatihan pembuatan turunan kelapa yang dilaksanakan Mitra Insani di daerah Concong Dalam. Juari kembali mengasah kemampuannya dalam membuat industri turunan kelapa dengan mengikuti Bimtek yang dilaksanakan Disbun Kabupaten Inhil dan Disbun Provinsi Riau pada 2020.
Dari sini, kesungguhannya dan keseriusan anggota kelompok tani menjadi perhatian Pemkab Inhil melalui Disbun Inhil. Di mana Disbun Inhil memberikan bantuan satu unit pengolahan hasil (UPH) yang sampai saat ini masih berjalan.
UPH milik Kelompok Tani Nyiur Terpadu memang fokus pada pengolahan turunan kelapa. Di antaranya, santan kelapa, minyak goreng kelapa dan VCO.
“Alhamdulillah, sekarang kita bisa membantu anggota kelompok tani dengan cara menampung butiran kelapa yang dihasilkan dari kebun kelapa anggota kelompok tani UPH Nyiur Terpadu,” paparnya.
Pria yang sekarang berusia 51 tahun dan memiliki satu orang anak itu menjelaskan, semua bahan baku butiran kelapa yang dibutuhkan Kelompok Tani Nyiur Terpadu dalam pembuatan santan kelapa, minyak kelapa, VCO dan lainnya, berasal dari kelapa para anggota.
Ada 23 orang anggota Kelompok Tani Nyiur Terpadu yang menjadi penyuplai bahan baku. Rata-rata mereka memiliki sekitar empat hektare kebun kelapa. Kelapa yang dibeli Kelompok Tani Nyiur Terpadu dari para anggota, dibeli dengan harga yang lebih tinggi dari hasil pasaran atau yang dibeli para tauke pada petani. Misalnya, jika harga pasaran kelapa saat ini Rp1.500 per kilogram, maka harga beli kelompok tani pada anggotanya Rp1.600 per kilogram atau selisih harga Rp100 per kilogram.
Sekarang, kata Juari, Kelompok Tani Nyiur Terpadu sudah mampu menghasilkan 100 liter VCO per minggunya atau 400 liter VCO per bulan. Di mana untuk menghasilkan 100 liter minyak VCO, membutuhkan 1.000 sampai 9.000 butir kelapa. Sedangkan untuk satu bulan, rata-rata membutuhkan dua ton kelapa. Tergantung dari kualitas kelapa untuk bisa menghasilkan minyak VCO.
Begitu juga minyak goreng kelapa, per bulan bisa dihasilkan 30-400 liter. Sedangkan santan kelapa, perbualan rata-rata 165 Kg.
Minyak VCO berbeda dengan minyak kelapa biasa. Minyak VCO merupakan minyak kelapa bermutu tinggi yang dipanaskan dengan suhu tertentu. Selain itu, minyak VCO memiliki banyak manfaat. Misalnya, menyeimbangkan gula darah, mengurangi risiko jantung, mengurangi risiko kanker, meningkatkan metabolisme, melancarkan ASI, menurunkan berat badan, meredakan luka bakar, bahan make up dan beberapa manfaat lainnya.
Dalam pembuatan VCO, Kelompok Tani Nyiur Terpadu menggunakan dua unit mesin parut selinder, satu unit mesin perasan santan, satu unit tabung penyaring, satu unit mesin vakum, empat unit bak penampung, ember, cibuk, gayung, penyaring, sendok sayur, bak plastik, batu zoilid, kapas, tisu,atau kain saring.
Dengan tiga orang tenaga dalam pengolahan VCO, minyak goreng dan santan, mereka memperoleh upah Rp130. 000 per hari.
Hasil pengolahan minyak VCO, minyak kelapa dan santan kelapa yang mereka hasilkan, diberi pelabelan sendiri dengan nama Kelompok Tani Nyiur Terpadu. Label dan kemasan mereka pesan dari Pekanbaru agar memudahkan dalam penjualan.
VCO, minyak kelapa, santan kelapa yang mereka hasilkan dan sudah dilabel dijual ke Tembilahan sekitarnya, mal di Kota Pekanbaru, Jakarta dan beberapa kota di Pulau Jawa. VCO kemasan 250 ml dijual dengan harga eceran Rp30.000, VCO 500 ml harga eceran Rp50.000,minyak goreng kelapa 1.000 ml dijual Rp40.000, sementara santan kelapa dijual Rp15.000 per kilogram dan lebih untuk kebutuhan lokal.
Sayangnya, minyak VCO dan lainnya itu tidak serta merta dibeli dengan harga cash. Tetapi menunggu produk terjual, baru dibayarkan.
“Makanya saya lebih suka orang atau masyarakat setempat yang beli, uang langsung terima,” ujarnya.